Pelangi
Oleh
: Rachmi Syifa Widayanti
Desember.
Kala
itu langit sore tampak mendung. Matahari seolah enggan membagi cahayanya. Tetes
hujan sedikit demi sedikit mulai membasahi teras sebuah rumah kecil. Di teras
tersebut, seorang anak sedang menatap halaman dengan pandangan kosong. Mulut
kecilnya komat-kamit entah apa yang diucapnya. Bangku kayu tua yang didudukinya
tampak reyot dan terdengar derit-derit kecil dari kaki kakinya. Anak tersebut
perlahan menjulurkan badanya. Tangan kecilnya menggapai-gapai udara kosong,
seolah ingin menangkap hujan. Ia pun tertawa, tertawa dalam kesunyian senja.
Seolah menikmati kesendiriannya. Perlahan, badannya makin condong ke depan.
Kakinya ditapakkan ke tanah. Bruk. Ia
jatuh. Ia jatuh namun tetap tertawa. Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar
dari dalam rumah. Panik, ia memapah tubuh anak itu masuk ke dalam rumah. Sang
anak berontak, seolah ingin tetap bersama hujan, ingin bersama senja. Namun
wanita tersebut lebih kukuh niatnya, ia perlahan
memapah
anak itu masuk.
***
Peluh
wanita itu bercucuran. Tangannya sibuk menggosok-gosok pakaian. Pakaian-pakaian
indah yang dijamin pasti mahal harganya. Pakaian-pakaian cantik yang tidak ada
hak baginya untuk memakainya. Lampu emas
gemilau nan mewah menerangi ruangan tersebut. Suara
musik terdengar mengalun dari arah tv yang dibiarkan menyala. Pembawa acara
tersebut terdengar mengoceh dengan asyiknya. Namun pikiran sang wanita itu
tiada ada disitu. Pikirannya mengawang ke rumah. Rumah sepetak reyot yang sudah
lama ditinggalinya bersama anaknya. Rumah tempat semua kenangan berada. Rumah
tempat ia dan anaknya ditinggal oleh suaminya.
Taufan,
anak wanita tersebut, adalah anak umur 9 tahun yang istimewa. Ia mempunyai
imajinasi luar biasa. Sungguh sering ia tersesat dalam imajinasinya sendiri.
Berkelana dalam alam pikirannya tanpa menaruh perhatian di dunia manusia
lainnya. Ia tak tertarik pada orang-orang. Bahkan pada
sang wanita. Ia belum bisa memanggilnya. Belum mampu menyebutnya ‘ibu’.
Tak ada sepatah katapun yang pernah diucapnya dari kecil. Hal ini, adalah
alasan rendahan yang digunakan
ayahnya saat dulu meninggalkannya. Lelaki itu berdalih
malu memilikinya, tak mau mengurusnya, hanya mencoret mukanya saja yang
sejatinya telah ternoda karna ulahnya sendiri bersama wanita-wanita. Tapi,
wanita tersebut tak punya pilihan. Ia tak sudi memohon lelaki yang sudah
berjuta kali menyakiti hatinya untuk tetap tinggal. Untuk tetap bersamanya. Ia
lebih memilih menjadi pejuang sendirian. Tanpa adanya dukungan dari lelaki itu.
Yang dipikirkan hanyalah bagaimana cara membesarkan anaknya, anak yang telah ia
tunggu-tunggu bertahun-tahun, anak yang imajinasinya melebihi orang normal,
anak yang amat sangat ia cintai.
Wanita
tersebut adalah pekerja di sebuah rumah mewah kawasan Menteng, Jakarta. Sungguh
berbeda dengan kehidupannya sendiri. Ia, berlatar belakang tamatan SMP di desa
terpencil di jawa tengah, tak mampu melamar pekerjaan layak dimanapun. Tak
mampu mendapat pekerjaan yang akan meningkatkan taraf hidupnya di bidang
apapun. Sampai akhirnya, ia teriming-imingi kehidupan yang lebih baik,
memutuskan pindah ke Jakarta, pada usia yang sangat belia. Disini pun, ia hidup
amat sangat sederhana. Sampai ia bertemu seorang lelaki yang menawan hatinya.
Lelaki tersebut adalah seorang pekerja kasar di bidang konstruksi bangunan.
Lelaki tersebut berjanji kepadanya akan bersamanya sampai maut memisahkan,
berjanji akan menghadapi dunia bersama. Dan atas nama cinta, mereka pun
disatukan dalam ikatan pernikahan sederhana. Hidupnya indah, pada awalnya.
Namun cobaan akan selalu datang pada manusa. Mereka tak kunjung mendapatkan
keturunan. Sang lelaki tak dapat dielak sering menyindir wanita itu akan hal
tersebut. Sampai akhirnya, mereka mempunyai momongan. Mereka bahagia. Namun, tak berapa lama,
bahagia tersebut segera hilang ditelan bumi. Bagai ditonjok di perut, lelaki
tersebut tak dapat menerima keberadaan sang anak dengan ikhlas. Tak dapat
menerima anak istimewa itu dengan hati terbuka. Sampai akhirnya ia
meninggalkannya.
***
Krek
Dibukanya
gembok pagar rumah. Wanita tersebut, berlindungkan payung abu-abu tua,
melangkahkan kakinya ke halaman. Sang anak, seperti biasa sedang melamun
menatap senja. Sore itu di bulan desember, hujan sedang menghabiskan persediaan
airnya. Tinggal tetes-tetes kecil air turun dari langit. Hati wanita tua itu
diam-diam sedih. Ia belum diakui keberadaannya oleh anaknya. Belum disadari kehadirannya
selama bertahun-tahun. Namun hal itu tak membuatnya menyerah terhadap anak itu.
Di dekatinya anak tersebut. Berlutut ia mencoba menatap mata anak itu.
“Taufan...
Ibu pulang nih, kamu ngapain aja daritadi sayang?”
“...”,
anak tersebut tak menjawab, tak pernah menjawab. Anak itu hanya tertawa
memandang hujan, tangannya masih menggapai-gapai udara kosong. Tangan wanita
itu mencoba menggenggam tangan anaknya. Menyalurkan rasa kasih sayangnya.
“Nggak
dingin, nak? Ke dalem yuk, udah mau maghrib.”, kata wanita tersebut tak
menyerah. Senyumnya terbentuk lemah di wajahnya, bersama keriput-keriput halus
yang sudah mulai ada. Namun tetap tak ada jawaban.
“Ibu
masuk sebentar ya, Ibu ambilkan makan buat kamu ya sayang.”
Wanita
tersebut perlahan melepas genggaman tangannya. Tangan yang telah bertahun-tahun
dipakai untuk berjuang demi menghidupi mereka berdua. Tangan renta yang tak
lagi segar bugar. Perhalan ia kemudian berdiri. Dihembuskan nafasnya berat,
berat meratapi hidup yang dijalaninya. Selangkah, dua langkah, ia berjalan ke
dalam rumah. Namun tak disangka tiba-tiba terdengar sebuah suara.
“Ibu...”,
kata suara tersebut. Suara itu terdengar sangat halus dan menenangkan jiwa. Bak suara dari surga.
Wanita itu menghentikan langkahnya. Bingung, ia menoleh ke belakang. Sang anak
tertawa, kali ini sambil menatap matanya. Anak itu tertawa dan terus tertawa.
Matanya berbinar-binar memancarkan kesucian.
“Ibu...
ibu...”, kata suara tersebut. Suara yang berasal dari bibir kecil sang anak.
Suara yang telah lama dirindukan olah sang wanita. Wanita itu terpaku, beragam
emosi campur aduk. Perlahan air mata mulai tergenang di sudut-sudut matanya. Ia
segera berlari, berlutut di hadapan anak itu.
“Iya
nak, ini ibu... ini ibu...”, sahutnya. Wanita tersebut tak dapat membendung
perasaan bahagianya. Ia tersenyum. Tersenyum sangat lebar. Air matanya perlahan
mengalir menandakan kebahagiannya. Dipeluknya tubuh kecil anak itu. Dipeluknya
seolah tak akan pernah dilepas lagi. Keberadaannya akhirnya diakui.
Keikhlasannya disadari. Anak itu terus menerus mengucapkan kata ibu sambil
tertawa. Cipratan air hujan yang makin deras tak dapat mengganggu perasaan
bahagia wanita itu saat ini. Karena ia tahu, segera setelah hujan berhenti,
akan ada pelangi di ujung hari. Akan ada pelangi di hari-harinya esok. Dan secercah
harapan itu, telah mengalahkan semua penderitaannya selama ini.