Cerpen : Pelangi

by - October 19, 2016

Pelangi
Oleh : Rachmi Syifa Widayanti

Desember.
Kala itu langit sore tampak mendung. Matahari seolah enggan membagi cahayanya. Tetes hujan sedikit demi sedikit mulai membasahi teras sebuah rumah kecil. Di teras tersebut, seorang anak sedang menatap halaman dengan pandangan kosong. Mulut kecilnya komat-kamit entah apa yang diucapnya. Bangku kayu tua yang didudukinya tampak reyot dan terdengar derit-derit kecil dari kaki kakinya. Anak tersebut perlahan menjulurkan badanya. Tangan kecilnya menggapai-gapai udara kosong, seolah ingin menangkap hujan. Ia pun tertawa, tertawa dalam kesunyian senja. Seolah menikmati kesendiriannya. Perlahan, badannya makin condong ke depan. Kakinya ditapakkan ke tanah. Bruk. Ia jatuh. Ia jatuh namun tetap tertawa. Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah. Panik, ia memapah tubuh anak itu masuk ke dalam rumah. Sang anak berontak, seolah ingin tetap bersama hujan, ingin bersama senja. Namun wanita tersebut lebih kukuh niatnya, ia perlahan memapah anak itu masuk.
***
Peluh wanita itu bercucuran. Tangannya sibuk menggosok-gosok pakaian. Pakaian-pakaian indah yang dijamin pasti mahal harganya. Pakaian-pakaian cantik yang tidak ada hak baginya untuk memakainya. Lampu emas gemilau nan mewah menerangi ruangan tersebut. Suara musik terdengar mengalun dari arah tv yang dibiarkan menyala. Pembawa acara tersebut terdengar mengoceh dengan asyiknya. Namun pikiran sang wanita itu tiada ada disitu. Pikirannya mengawang ke rumah. Rumah sepetak reyot yang sudah lama ditinggalinya bersama anaknya. Rumah tempat semua kenangan berada. Rumah tempat ia dan anaknya ditinggal oleh suaminya.
Taufan, anak wanita tersebut, adalah anak umur 9 tahun yang istimewa. Ia mempunyai imajinasi luar biasa. Sungguh sering ia tersesat dalam imajinasinya sendiri. Berkelana dalam alam pikirannya tanpa menaruh perhatian di dunia manusia lainnya. Ia tak tertarik pada orang-orang. Bahkan pada sang wanita. Ia belum bisa memanggilnya. Belum mampu menyebutnya ‘ibu’. Tak ada sepatah katapun yang pernah diucapnya dari kecil. Hal ini, adalah alasan rendahan yang digunakan ayahnya saat dulu meninggalkannya. Lelaki itu berdalih malu memilikinya, tak mau mengurusnya, hanya mencoret mukanya saja yang sejatinya telah ternoda karna ulahnya sendiri bersama wanita-wanita. Tapi, wanita tersebut tak punya pilihan. Ia tak sudi memohon lelaki yang sudah berjuta kali menyakiti hatinya untuk tetap tinggal. Untuk tetap bersamanya. Ia lebih memilih menjadi pejuang sendirian. Tanpa adanya dukungan dari lelaki itu. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana cara membesarkan anaknya, anak yang telah ia tunggu-tunggu bertahun-tahun, anak yang imajinasinya melebihi orang normal, anak yang amat sangat ia cintai.
Wanita tersebut adalah pekerja di sebuah rumah mewah kawasan Menteng, Jakarta. Sungguh berbeda dengan kehidupannya sendiri. Ia, berlatar belakang tamatan SMP di desa terpencil di jawa tengah, tak mampu melamar pekerjaan layak dimanapun. Tak mampu mendapat pekerjaan yang akan meningkatkan taraf hidupnya di bidang apapun. Sampai akhirnya, ia teriming-imingi kehidupan yang lebih baik, memutuskan pindah ke Jakarta, pada usia yang sangat belia. Disini pun, ia hidup amat sangat sederhana. Sampai ia bertemu seorang lelaki yang menawan hatinya. Lelaki tersebut adalah seorang pekerja kasar di bidang konstruksi bangunan. Lelaki tersebut berjanji kepadanya akan bersamanya sampai maut memisahkan, berjanji akan menghadapi dunia bersama. Dan atas nama cinta, mereka pun disatukan dalam ikatan pernikahan sederhana. Hidupnya indah, pada awalnya. Namun cobaan akan selalu datang pada manusa. Mereka tak kunjung mendapatkan keturunan. Sang lelaki tak dapat dielak sering menyindir wanita itu akan hal tersebut. Sampai akhirnya, mereka mempunyai momongan. Mereka bahagia. Namun, tak berapa lama, bahagia tersebut segera hilang ditelan bumi. Bagai ditonjok di perut, lelaki tersebut tak dapat menerima keberadaan sang anak dengan ikhlas. Tak dapat menerima anak istimewa itu dengan hati terbuka. Sampai akhirnya ia meninggalkannya.
***
Krek
Dibukanya gembok pagar rumah. Wanita tersebut, berlindungkan payung abu-abu tua, melangkahkan kakinya ke halaman. Sang anak, seperti biasa sedang melamun menatap senja. Sore itu di bulan desember, hujan sedang menghabiskan persediaan airnya. Tinggal tetes-tetes kecil air turun dari langit. Hati wanita tua itu diam-diam sedih. Ia belum diakui keberadaannya oleh anaknya. Belum disadari kehadirannya selama bertahun-tahun. Namun hal itu tak membuatnya menyerah terhadap anak itu. Di dekatinya anak tersebut. Berlutut ia mencoba menatap mata anak itu.
“Taufan... Ibu pulang nih, kamu ngapain aja daritadi sayang?”
“...”, anak tersebut tak menjawab, tak pernah menjawab. Anak itu hanya tertawa memandang hujan, tangannya masih menggapai-gapai udara kosong. Tangan wanita itu mencoba menggenggam tangan anaknya. Menyalurkan rasa kasih sayangnya.
“Nggak dingin, nak? Ke dalem yuk, udah mau maghrib.”, kata wanita tersebut tak menyerah. Senyumnya terbentuk lemah di wajahnya, bersama keriput-keriput halus yang sudah mulai ada. Namun tetap tak ada jawaban.
“Ibu masuk sebentar ya, Ibu ambilkan makan buat kamu ya sayang.”
Wanita tersebut perlahan melepas genggaman tangannya. Tangan yang telah bertahun-tahun dipakai untuk berjuang demi menghidupi mereka berdua. Tangan renta yang tak lagi segar bugar. Perhalan ia kemudian berdiri. Dihembuskan nafasnya berat, berat meratapi hidup yang dijalaninya. Selangkah, dua langkah, ia berjalan ke dalam rumah. Namun tak disangka tiba-tiba terdengar sebuah suara.
“Ibu...”, kata suara tersebut. Suara itu terdengar sangat halus dan menenangkan jiwa. Bak suara dari surga. Wanita itu menghentikan langkahnya. Bingung, ia menoleh ke belakang. Sang anak tertawa, kali ini sambil menatap matanya. Anak itu tertawa dan terus tertawa. Matanya berbinar-binar memancarkan kesucian.
“Ibu... ibu...”, kata suara tersebut. Suara yang berasal dari bibir kecil sang anak. Suara yang telah lama dirindukan olah sang wanita. Wanita itu terpaku, beragam emosi campur aduk. Perlahan air mata mulai tergenang di sudut-sudut matanya. Ia segera berlari, berlutut di hadapan anak itu.
“Iya nak, ini ibu... ini ibu...”, sahutnya. Wanita tersebut tak dapat membendung perasaan bahagianya. Ia tersenyum. Tersenyum sangat lebar. Air matanya perlahan mengalir menandakan kebahagiannya. Dipeluknya tubuh kecil anak itu. Dipeluknya seolah tak akan pernah dilepas lagi. Keberadaannya akhirnya diakui. Keikhlasannya disadari. Anak itu terus menerus mengucapkan kata ibu sambil tertawa. Cipratan air hujan yang makin deras tak dapat mengganggu perasaan bahagia wanita itu saat ini. Karena ia tahu, segera setelah hujan berhenti, akan ada pelangi di ujung hari. Akan ada pelangi di hari-harinya esok. Dan secercah harapan itu, telah mengalahkan semua penderitaannya selama ini.

You May Also Like

0 comments

Check These Out!

Women's Stuff

It's hard to be a woman, I tell you that in advance. (this post is just a rant and may act as slight information but I'm nowhere nea...